Regression
Kalau kalian pernah nonton filmnya Christoper Nolan yang judulnya Interstellar, pas dibagian Matthew McConaughey dan Anne Hathaway melakukan inspeksi terhadap potensial habitable planet, mereka harus memisahkan diri dari pesawat utama dan naik angkutan lain untuk menuju ke planet yg akan di kunjungi tersebut.
Karena gravitasi, velocity atau apalah itu, ketika memasuki zona tersebut mereka akan terjerat time dilation, dimana waktu akan berjalan lebih cepat atau lambat dari tempat lain.
Mas Matthew & Mbak Anne menyempatkan beberapa jam saja untuk menginspeksi planet tersebut, namun pas balik ke kapal induk, temenya yg ga ikutan menginspeksi udah jadi jompo. Sudah menunggu lebih dari 20 tahun, katanya...
Beberapa jam di zona tersebut = 20 tahun lebih waktu normal. Kurang lebihnya gitu kira-kira..
Sama kayak cerita di Interstellar tersebut, selama hampir 2 tahun pandemi ini, gw merasa waktu berjalan normal-normal aja.. epriting is guwwddd....! sampai dititik dimana gw tersadar, "busetttt! tinggal hitungan minggu aja udah masuk tahun 2022!!"
Kalau kata orang Jawa bijak, ini namanya "ujug-ujug mak bedunduk!". Bayangin sebelum pandemi gw masih tergolong anak muda yg unyu di usia 20 tahunan yang darahnya masih berapi-api, dan ketika nulis ini menurut kalender romawi, gw udah hampir umur 31! TIGA PULUH SATU MY AGE YEAHH!!
Nothing seems real
I`m starting to feel
Lost in the haze of a dream
And as I draw near
The scene becomes clear
Like watching my life on a screen
— Scene One : Regression
It's interesting yet so scary, tho.. layaknya ngeliat kendaraan-kendaraan bejubel di jam pulang kantor, bergerak perlahan, sesekali nyruduk sana-sini biar dapet celah supaya lebih cepet nyampek tujuan pulang masing-masing. Kalo gw melihat kemacetan dari jendela apartemen gw kayak sans aja gitu, hening dan harmonis, lampu-lampu dari kendaraan dan jalan memancar. Menceritakan romantisme sendiri tentang Jakarta.
Hal tersebut 180 derajat berbeda ketika gw yang ikutan kena macet. Panas, bising dan capek. 10 menit terjebak dalam kemacetan udah berasa kayak berjam-jam. Dalam hati isinya cuman joncak-jancuk.
Beberapa waktu lalu, gw ngechat temen lama untuk menanyakan suatu hal.. setelah ngobrol ngalor-ngidul, kita tersadar... bahwasanya udah hampir 2 tahun gw ma dia gak komunikasi, tapi 2 tahun yang udah berjalan itu seperti baru berasa 2 bulan aja. Seolah-olah kamar apartment gw berada di zona dengan tingkat gravitasi tinggi yg menyebabkan waktu berjalan lebih lambat kayak di Interstellar tadi.
"Eh gile... kita terakhir ketemu pas di Ebira Gancit ya Van? Anjir itu udah hampir 2 tahun lalu cuyy" teriaknya dalam bentuk tulisan!
Atau mungkin karena saking banyaknya hal yang terjadi disekitaran, informasi di otak saling bertumpukan satu sama lain, sehingga ter-skip dan baru ke re-call lagi setelah kita ke trigger dengan realita atau objek tersebut.
Back on my feet again
Eyes open to real world
Metropolis surrounds me
The mirror`s shattered the girl
— Scene Two : Strange Deja Vu
Dari sini gw sebenernya udah mulai grasping my awareness lagi sih, terus secara ga sengaja diantara malam liat youtube-nya Matt D'Avella, yang ngebahas tentang distraction dan meaningful life.
Dari situ otot cognitive yg ada di otak gw berlomba saling berasumsi, mencoba memahami apa yang terjadi. 2 Tahun ini gw ngerasa stuck dan gak kemana-mana.. tapi kok udah mau 2022 aja?
Beberapa asumsi yg disimpulkan otak gw adalah :
- Gw ke distract oleh hal-hal yang ga penting, terlalu banyak menikmati cici-cici joget di tiktok bisa jadi, he chanda.
- Burnout dan wornout kerjaan yang isinya transaksional yang ga memberi value dalam hidup gw
Setelah itu gw juga nonton video youtube-nya seseorang lupa siapa serius! disitu dia njelasin gimana dia menjalani hidup selow dan meaningful, salah satu metode yg digunakan adalah dengan journalling. Nulis! bukan nulis di Ms.Word gitu ya.. tp bener-bener nulis dikertas. Metodenya disebut Bullet Journaling, ya semacam Diary kayak kita waktu SD gitu.. tp lebih structured dan ngak bikin jijique klo dibaca. wkwkwk
Banyak informasi yang masuk dengan sangat cepat, terlebih semenjak WFH ini yang semua dikerjakan secara daring dari rumah masing-masing, informasi yang ada tidak terabsorb dengan baik, banyak informasi yang masuk namun sebagian besar langsung menguap ilang begitu aja.
Sebelumnya to-do-list ada di Notion, meeting note ada di notion, coret-coret lo-fi ada di figma, catetan revisian ada di komenan figma, dst. Semua-semua serba digital. Ditambah selama WFH isinya meeting lewat GoogleMeet/Zoom alhasil mayoritas kegiatan ada di depan layar komputer.
Dari sini gue mulai mencoba untuk mengurangi penggunaan aplikasi digital dan gw pindahin ke buku catatan, mencoba memperlambat proses supaya lebih meaningful dengan cara nulis di kertas.
I tried to get more answers
But he said, "You`re on your own"
Then he turned away and left me
As I stand there all alone
He said, "You`ll know the truth
As your future days unfold"
— Scene Three : Fatal Tragedy
Pas nulis draft tulisan ini, posisi gw udah 2-3 bulanan lah mindahin catetan-catetan digital tadi ke buku catetan beneran, dan gw ga tau ya apakah karena gw masih dalam fase honeymoon, but I feel hapiiieeeer, you know... I feel I can breath easily, task-task kerjaan atau personal jadi lebih berkesan... gw mungkin ga bisa njelasin secara verbal dengan baik apa yang gw rasakan, but I feel hollow no more.
Coret-coret lo-fi gw eksekusi full di kertas, meeting dan komen-komenan gw rekap dan tulis di kertas. Sampek butuh nyalain slack atau figma lagi baru pindah ke desktop.
Hal tersebut secara ga langsung lumayan mengurangi Screen Time gw setiap harinya, rasanya kepala jadi lebih enteng!
Side Note : Gegara ini gw sempet jadi paper and pen snob, wkwkkw... melajarin dan ngeresearch kertas buat journaling yg oke apa.. bolpen yang enak buat nulis apa, dsb...
Our deeds have traveled far
What we have been is what we are
All that we learn this time
Is carried beyond this life
— Scene Four : Beyond This Life
— END of ACT ONE